SEKELUMIT HUKUM WARIS
- Riang Prasetya, SH.,MH.,MM.,MKes.,CLA.,CLI.,CCD.,CMC.,CMe.
- 24 Apr 2023
- 3 menit membaca
Pada hakekatnya warisan dari orang tua dibagikan kepada anak-anaknya saat orang tua sudah meninggal dunia. Lalu apakah warisan dapat diberikan kepada anak-anaknya saat orang tua masih hidup?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan jawaban “Bisa” atau “Tidak”, akan tetapi kita harus memaknai terlebih dahulu pengertian dari warisan.
Bilamana ada orang tua yang membagi hartanya saat masih hidup, hal ini dimaknai sebagai “Hibah” dan bukanlah warisan. Karena pada dasarnya warisan hanya bisa dibagi setelah orang tua sudah meninggal.
Yang perlu ditegaskan dalam pembagian hibah adalah keinginan dari orang tua dan bukanlah atas desakan atau permintaan dari anak-anaknya, agar anak-anak tidak dianggap sebagai “anak durhaka”. Namun seringkali hibah yang diberikan orang tua dirasa kurang adil atas pembagiannya, sehingga timbul gugatan perdata dari pihak anak yang merasa lebih berjasa, atau dinilai lebih sedikit mendapatkannya.
Untuk menghindari permasalahan hukum maka diperlukan kesepahaman dan kesepakatan dari seluruh anak-anaknya yang dibuat dalam suatu produk hukum. Dan diperlukan pemahaman terkait warisan yang diberikan saat Pewaris masih hidup yang disebut "Hibah" dan pembagian waris saat Pewaris sudah meninggal dunia.
Dalam mekanisme pembagian waris yang beragama Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Yang menjadi pertanyaan adalah bila orang tua beragama Islam dan anaknya beragama Kristen atau agama lain selain Islam, apakah masih mendapatkan Hak Waris?
Bahwa berdasarkan Pasal 171 point c KHI menyatakan “Ahli Waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan Pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi Ahli Waris”. Akan tetapi anak yang beragama non muslim masih bisa mendapatkan warisan, namun namanya bukan warisan tetapi “Wajibah”, berupa wasiat Wajibah yang diberikan kepada ahli waris yang beda agama. Hal ini tercermin dalam putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 16 K/AG/2010. Jadi kesimpulan dari pertanyaan apakah anak yang bukan muslim masih bisa mendapatkan warisan? Jawabnya “Bisa”.
Lalu selanjutnya bagaimana aturan Hukum Waris bagi golongan WNI Timur Asing, Tionghoa, yang bukan beragama Islam?
Aturan mengenai waris bagi golongan Tionghoa, dan yang bukan beragama Islam diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang termaktub pada Pasal 852 KUHPerdata. Bahwa dalam hal warisan seorang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, maka si istri atau suami yang hidup terlama dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari yang meninggal. Artinya anak-anak keturunan berhak mewaris dari orang tua atau kakek-nenek dan keluarga sedarah dengan jumlah bagian yang sama. Begitu pula istri, memiliki hak yang sama seperti halnya anak sah. Tidak kalah pentingnya juga berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU PERKAWINAN) yang juga memiliki kaitan dengan masalah warisan, karena adanya ketentuan Harta Bersama.
Selain itu pembagian Harta Warisan dari Pewaris dapat juga dilakukan saat Pewaris masih hidup dengan dibuatnya surat berupa Wasiat. Dalam hal ini pembagian Warisan dalam wasiat tidak dapat begitu saja dibagikan, akan tetapi harus melihat isi dari Surat Wasiat tersebut.
Wasiat harus merujuk pada bagian “MUTLAK” dari ahli Waris (Legitime Portie). Yang merupakan para Ahli Waris Golongan 1, Golongan 2, dan ahli waris dari Garis Lurus Pewaris. (Pasal 913 KUHPerdata). Jadi bila ada Surat Wasiat, maka Para Ahli Waris tetap patut untuk diperhitungkan. Bila Pewasiat memiliki anak atau suami/istri, Maka Isi Wasiat harus diketahui oleh Para Ahli Waris.
Namun demikian perlu diketahui bahwa Wasiat berlaku bila disetujui oleh semua Ahli Waris yang dibuat dihadapan Notaris. Dan Wasiat tidak dapat dijadikan alasan menetapkan seseorang atau merubah kedudukannya menjadi Ahli Waris.
“WARISAN TIMBUL KARENA KEMATIAN PEWARIS,
HUBUNGAN DARAH, ATAU HASIL PERKAWINAN YANG SAH”
Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai kekayaan seseorang setelah ia meninggal, mengenai bagaimana memindahkan kekayaan seseorang setelah ia tiada.
Pasal 874 KUHPerdata:
“Segala Harta Peninggalan Seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan para ahli Warisnya”
Pasal 875 KUHPerdata:
“Surat Wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki bila ia meninggal dunia”.
Pasal 1666 KUHPerdata:
“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu“
Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam (KHI):
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa paksaan dapat mewariskan hartanya kepada orang lain atau lembaga
2. Harta benda yang diwariskan harus hak dari Pewaris
3. Pemilikan harta warisan baru dapat dimiliki setelah Pewasiat meninggal dunia
Hak Warisan Menurut Golongan
1. Golongan 1 : Suami/Istri dan anak Keturunannya, termasuk anak luar kawin
2. Golongan 2 : Orang Tua dan Saudara Kandung Pewaris
3. Golongan 3 : Keluarga dalam Garis lurus sesudah Orang Tua Pewaris
4. Golongan 4 : Paman/ Bibi Pewaris. Baik dari pihak Bapak atau Ibu, Keturunan
Paman/Bibi sampai derajat keenam, Saudara dari Kakek/Nenek
Pewaris sampai derajat keenam.
Demikian Semoga Bermanfaat
Salam Taat Hukum,
Riang Prasetya, SH.,MH.,MM.,MKes.,CLA.,CLI.,CCD.,CMC.,CMe.
Comments